PLAOSAN Telaga sarangan Indah, sejuk dan penuh cerita menarik, demikianlah kata yang tepat untuk menggambarkan tempat wisata keluarga Telaga Sarangan yang terletak di kaki Gunung Lawu, Kelurahan Sarangan, Kecamatan Plaosan, Kabupaten Magetan, Jawa Timur ini.
Danau atau yang biasa disebut telaga ini memiliki luas lebih kurang 30 hektar dan memiliki kedalaman sekitar 30 meter dan hanya berjarak 20 kilometer dari pusat kota Magetan, sehingga gampang ditempuh.
Berdasarkan informasi yang didapat dari petugas setempat, ditambah info dari tokoh dan wan warga setempat, nama lain dari Telaga Sarangan adalah Telaga Pasir. Hal ini karena berkaitan dengan cerita asal mula Telaga Sarangan.
konon cerita Kyai Pasir ( Kyai Jalilung ) dan Nyai Pasir( Nyai Jalilung ) adalah pasangan suami isteri yang hidup di hutan gunung Lawu. Mereka berteduh di sebuah rumah (pondok) di hutan lereng gunung Lawu sebelah timur. Pondok itu dibuat dari kayu hutan dan beratapkan dedaunan. Dengan pondok yang sangat sederhana ini keduanya sudah merasa sangat aman dan tidak takut akan bahaya yang menimpanya, seperti gangguan binatang buas dan sebagainya. Lebih-lebih mereka telah lama hidup di hutan tersebut sehingga paham terhadap situasi lingkungan sekitar dan pasti dapat mengatasi segala gangguan yang mungkin akan menimpa dirinya.
Pada suatu hari pergilah Kyai Pasir ke hutan dengan maksud bertanam sesuatu di ladangnya, sebagai mata pencaharian untuk hidup sehari-hari. Oleh karena ladang yang akan ditanami banyak pohon-phon besar, Kyai Pasir terlebih dahulu menebang beberapa pohon besar itu satu demi satu.
Tiba-tiba Kyai Pasir terkejut karena mengetahui sebutir telur ayam terletak di bawah salah sebuah pohon yang hendak ditebangnya. Diamat-amatinya telur itu sejenak sambil bertanya di dalam hatinya, telur apa gerangan yang ditemukan itu. Padahal di sekitarnya tidak tampak binatang unggas seekorpun yang biasa bertelur. Tidak berpikir panjang lagi, Kyai Pasir segera pulang membwa telur itu dan diberikan kepada isterinya.
Kyai Pasir menceritakan ke Nyai Pasir awal pertamanya menemukan telur itu, sampai dia bawa pulang.
Akhirnya kedua suami isteri itu sepakat telur temuan itu direbus. Setelah masak, separo telur masak tadi oleh Nyai Pasir diberikan ke suaminya. Dimakannya telur itu oleh Kyai Pasir dengan lahapnya. Kemudian Kemudian Kyai Pasir berangkat lagi keladang untuk meneruskan pekerjaan menebang pohon dan bertanam.
Dalam perjalanan kembali ke ladang, Kyai Pasir masih merasakan nikmat telur yang baru saja dimakannya. Namun setelah tiba di ladang, badannya terasa panas, kaku serta sakit sekali. Mata berkunang-kunang, keringat dingin keluar membasahi seluruh tubuhnya. Derita ini datangnya secara tiba-tiba, sehingga Kyai Pasir tidak mampu menahan sakit itu dan akhirnya rebah ke tanah. Mereka sangat kebingungan sebab sekujur badannya kaku dan sakit bukan kepalang. Dalam keadaan yang sangat kritis ini Kyai Pasir berguling-guling di tanah, berguling kesana kemari dengan dahsyatnya. Gaib menimpa Kyai Pasir. Tiba-tiba badanya berubah wujud menjadi ular naga yang besar, bersungut, berjampang sangat menakutkan. Ular Naga itu berguling kesana kemari tanpa henti-hentinya.
Alkisah, Nyai Pasir yang tinggal di rumah dan juga makan separo dari telur yang direbus tadi, dengan tiba-tiba mengalami nasib sama sebagaimana yang dialami Kyai Pasir. Sekujur badannya menjadi sakit, kaku dan panas bukan main. Nyai Pasir menjadi kebingungan, lari kesana kemari, tidak karuan apa yang dilakukan.
Karena derita yang disandang ini akhirnya Nyai Pasir lari ke ladang bermaksud menemui suaminya untuk minta pertolongan. Tetapi apa yang dijuumpai. Bukannya Kyai Pasir, melainkan seekor ular naga yang besar sekali dan menakutkan. Melihat ular naga yang besar itu Nyai Pasir terkejut dan takut bukan kepalang. Tetapi karena sakit yang disandangnya semakin parah, Nyai Pasir tidak mampu lagi bertahan dan rebahlah ke tanah. Nyai Pasir mangalami nasib gaib yang sama seperti yang dialami suaminya. Demikian ia rebah ke tanah, badannya berubah wujud menjadi seekor ular naga yang besar, bersungut, berjampang, giginya panjang dan runcing sangat mengerikan. Kedua naga itu akhirnya berguling-guling kesana kemari, bergeliat-geliat di tanah ladang itu, menyebabkan tanah tempat kedua naga berguling-guling itu menjadi berserakan dan bercekung-cekung seperti dikeduk-keduk. Cekungan itu makin lama makin luas dan dalam, sementara kedua naga besar itu juga semakin dahsyat pula berguling-guling dan tiba-tiba dari dalam cekungan tanah yang dalam serta luas itu menyembur air yang besar memancar kemana-mana. Dalam waktu sekejap saja, cekungan itu sudah penuh dengan air dan ladang Kyai Pasir berubah wujud mejadi kolam besar yang disebut Telaga. Telaga ini oleh masyarakat setempat terdahulu dinamakan Telaga Pasir, karena telaga ini terwujud disebabakan oleh ulah Kyai Pasir dan Nyai Pasir.
Sejak itu, setahun sekali, tepatnya pada hari Jumat Pon bulan Ruwah, di telaga ini diadakan acara Larung Tumpeng/ larung sesaji. Upacara ini dilakukan sebagai bentuk ungkapan syukur masyarakat desa. Dalam upacara ritual ini, warga melarung persembahan atau sesaji ke tengah telaga.
Bagi Anda yang ingin berkunjung ketempat ini, selain bisa menikmati telaga, juga bisa menikmati obyek wisata air terjun Tirtosari.
di sini ada 2 obyek wisata sekaligus, telaga dan air terjun.
Meski tidak begitu luas, namun di tengah telaga terdapat pulau kecil. Entah apa yang ada di dalamnya, yang jelas pulau tersebut tidak dibuka untuk wisatawan.
Di sebelah barat telaga, terdapat hutan pinus yang banyak dihuni oleh kera liar. Jika sepi, kera-kera banyak yang turun ke jalan. Di telaga ini ada beberapa pilihan yang dapat Anda nikmati.
Untuk wisata air, Anda dapat naik perahu boat mengelilingi telaga. Anda dapat menikmati indahnya telaga dan merasakan segarnya air telaga.
Di sepanjang jalan dari pusat kota Magetan menuju Telaga Sarangan, Anda akan disuguhi pemandangan yang indah. Di kanan-kiri jalan terlihat hamparan sawah dan ladang penduduk. Jalannya berkelok-kelok dan naik.
Namun Anda tak perlu khawatir, karena keadaan jalannya cukup baik, tidak rusak dan bergelombang. Tapi Anda juga harus tetap berhati-hati, karena terkadang ada kendaraan yang tidak kuat naik, sehingga mogok di tengah jalan.
Sebelum tiba di Telaga Sarangan, Anda akan melewati Telaga Wurung. Telaga Wurung ini adalah tempat bagi mereka yang gemar memancing ikan. “Wurung” sendiri berasal dari bahasa Jawa yang artinya “batal”. Konon, jika sepasang kekasih melewati jalan ini, maka diyakini jalinan cintanya akan berakhir (wurung menikah).
Paket yang ditawarkan ada 2 macam, 1 kali putaran dengan biaya Rp 40.000 atau 3 kali putaran dengan biaya Rp 100.000. 1 perahu boat dapat dinaiki 4-5 orang dewasa. Untuk wisata darat, pengunjung dapat naik kuda mengelilingi telaga. Satu kali putaran Anda akan dikenai biaya Rp 40.000.
Bagi yang hobi berolahraga, bisa berjalan kaki mengelilingi Telaga Sarangan dengan keliling sekitar 1,5 km. Karena di sepanjang jalan dapat menikmati keindahan panorama alam Gunung Lawu.
Jika belum lelah berjalan, pengunjung juga bisa melanjutkan perjalanan ke air terjun Tirtosari. Anda tidak perlu khawatir, karena jalan menuju air terjun Tirtosari ini relatif mudah dilewati. Pintu masuknya terdapat di sebelah barat telaga, ditandai dengan patung pesawat di bagian depannya.
Perjalanan menuju air terjun Tirtosari ini berjarak sekitar 2,5 km. Perjalanan awal sejauh 1,5 km dapat ditempuh dengan naik kuda, namun 1 km berikutnya perjalanan hanya bisa ditempuh dengan jalan kaki. Di sepanjang jalan akan disuguhi pemandangan indah kebun sayur penduduk.
Sate kelinci
Lelah berjalan, pengunjung bisa menikmati kuliner di Telaga Sarangan. Yang paling terkenal adalah Sate Kelinci. Tidak usah bingung dimana mencarinya, karena di sepanjang telaga banyak penjual Sate Kelinci yang siap melayani.
Data dari Dinas Pariwisata Magetan mencatat, sedikitnya terdapat 140 pedagang sate kelinci yang berjualan di sekitar kawasan Telaga Sarangan. Satu porsi Sate Kelinci berisi 10 tusuk sate dan lontong dijual dengan harga Rp 10.000.
Sate kelinci memiliki tekstur daging yang berserat halus dan warna sedikit pucat, sehingga rasanya lebih lembut dan gurih saat dikunyah.
Dengan beralaskan tikar menghadap ke telaga, Sate Kelinci terasa bertambah nikmat. Selain Sate Kelinci, banyak pedagang keliling yang menawarkan kacang rebus, jagung rebus, keripik dan lain lainnya.
Di pinggir telaga, banyak pedagang tanda mata yang berjualan. Mulai dari kaos bertuliskan Telaga Sarangan, sampai kerajinan anyaman juga disediakan. Di sisi lain terdapat pedagang sayur dan buah-buahan segar.
Sedangkan untuk masalah penginapan, pengunjung Telaga Sarangan tidak perlu khawatir. Karena di pinggir telaga, banyak hotel yang ditawarkan, mulai dari hotel melati, sampai hotel berbintang.
Yang tidak kalah pentingnya adalah, bagi pengunjung yang ingin menikmati obyek wisata Telaga Sarangan, sebaiknya jangan berkunjung pada musim liburan, karena dipadati pengunjung.
Jika ingin benar-benar menikmati dengan leluasa keindahan Telaga Sarangan hingga puas, disarnkan datang pada waktu di luar liburan. Nah, tunggu apa lagi? Segera rencanakan perjalanan wisata Anda ke Telaga Sarangan
Sumber : http://candradityaa.blogspot.com/
Selasa, 03 Maret 2015
Asal usul Kali "Gandong"
Magetan asal usul kali ini akan berbagi tentang Asal usul Kali Gandong Magetan. Kali Gandong ini adalah sungai yang melintasi tengah kota Magetan, dan nama Kali (sungai) Gandong ini sudah familiar di telinga warga Magetan, namun cerita asal usul nama sungai ini dinamakan dengan Kali Gandong tidak semua warga Magetan itu mengetahuinya.
Cerita penamaan sungai ini berawal dari ketika Kyai Mageti bersemedi di suatu tempat yang asing dan suasananya hening di dalam hutan, yang saat ini di kenal dengan Desa Magetan. Belum lama beliau bersemedi, beliau beliau terganggu dengan suasana gemuruh yang berasal dari arah barat. Adapun suara itu adalah suara air bah yang mengalir dengan deras seperti air bah yang datang di waktu musim penghujan, padahal waktu itu adalah musim kemarau, dan ternyata air bah itu adalah air yang di giring oleh orang sakti yang bernama Djoko Segondang.
Djoko Segondang dengan bangganya berjalan dengan diikuti oleh air bah yang melimpah-limpah itu tiba-tiba berhenti sebelum menerjang tempat bersemedinya Kyai Mageti, dikarenakan Djoko Segondang tidak bisa melihat jalan didepannya. Djoko Segondang tidak bisa menentukan arah kemana ia harus mengarahkan air air bah tersebut, karena pandangannya tersa gelap gulita, iapun berguman "Ini pasti ada orang sakti yang sedang bertapa!".
Karena merasa ada orang sakti yang sedang bertapa di depannya, maka Djoko segundang mengucapkan salam "Assalamu'alaikum warohmatullohi wabarokatuh". Anehnya setelah Djoko Segondang mengucapkan salam tiga kali, penglihatannya semakin terang dan cuaca yang gelap gulita itupun semakin lama semakin terang juga. Djoko segondang memandang kedepan tampak samar-samar ada orang yang duduk bersemedi.
Setelah merasa yakin bahwa yang bersemedi didepan itu adalah manusia, maka Djoko Segondangpun dengan penuh kesopanan membangunkan orang yang bersemedi itu yang tidak lain adalah Kyai Mageti. Setelah Kyai Mageti itu menghentikan semedinya sejenak , maka keduanyapun berbincang-bincang dengan akrabnya dan saling menghormati.
Djoko Segondang mengaku berasal dari dukuh Segalih desa Gonggang, yang letaknya di sebelah selatan Plaosan. Djoko Segondang memberitahukan kepada Kyai Mageti bahwa ia sebenarnya bertujuan untuk menuju ke Madiun untuk bertemu dengan Bapaknya.
Mendengar penuturan dari Djoko Segondang itu, Kyai Mageti termenung sejenak dan akhirnya berkata: "Apabila ki sanak akan berjalan terus menuju arah timur, pasti tidak kuat!", maksud dari Kyai Mageti adalah agar Djoko Segondang tidak menerjang tempat semedinya.
Kemudian Kyai Mageti melanjutkan perkataanya:" Agar perjalanan ki sanak tidak terganggu dan kuat, ki sanak harus berbelok ke utara sedikit, dan selanjurnya membelok ke timur!"
Mendengar perkataan Kyai Mageti tersebut, Djoko Segondang menurutinya, dan karena peristiwa itu Djoko Segondang berkata: " Besuk kalau ada ramainya jaman, sungai yang saya belokkan ini saya beri nama Lepen Gandong!". Sedangkan kedung tempat Kyai Mageti bebincang bincang dengan Djoko Segondang di namakan Kedung Salam, karena Djoko Segondang memberikan salam tiga kali kepada Kyai Mageti
Sumber : https://id-id.facebook.com/MagetanKotaWisata
Selasa, 24 Februari 2015
Cagar Budaya di Magetan Terancam Punah
Parang, Dua cagar budaya berupa masjid tua di Magetan, Jawa Timur, kian terancam, karena tidak dapat perhatian dari pemerintah.
Salah satu masjid tersebut diberi nama At-Taqwa pada 1970-an. Masjid ini dipercaya memiliki nilai sejarah yang sangat tinggi. Masjid dengan kubah batu tersebut dibangun oleh salah seorang Punggawa Magetan, H Imam Nawawi. Hingga saat ini, masjid tersebut masih dipercayakan kepada salah satu menantunya, H Hamid, 65.
H Hamid mengisahkan, Masjid cagar budaya At-Taqwa berdiri sejak 1850 di Dusun Badegan, Desa Tegal Arum, Kecamatan Parang, Magetan ini dibangun dengan luas sekitar 8x20 meter. Masjid ini diangun dengan delapan kayu jati yang menopang berdirinya atap masjid. Empat berada di depan dan empat penyokong lagi di belakang. Desainnya mirip rumah adat jawa, Joglo.
"Sebelum dibangun oleh Badan Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Trowulan, Mojorkerto, dulu masjid ini berdinding gedhek atau anyaman bambu. Masjid ini juga dibangun dengan satu pintu, berbeda kebanyakan masjid kuno lainnya yang dibangun dengan tiga pintu," ujar H Hamid.
"Pada 1997 lalu, masih lengkap 30 kitab kuno tersebut. Karena dimakan usia, terkena hujan dan dimakan hewan rengat, sekarang tinggal 17 kitab kuno yang kondisinya sudah sangat memprihatinkan. Apalagi, kami tidak tahu cara merawat kitab-kitab tersebut," ujar  Hamid.
Lain di At-Taqwa lain pula di Masjid Wakaf Kyai Haji Abdul Rohman, yang terletak di Dusun Tegalrejo, Desa Semen, Kecamatan Nguntoronadi, Magetan. Di masjid dengan usia lebih tua sekitar 15 tahun atau dibangun sekitar tahun 1835, ini tak menyisakan satu pun kitab. Masjid ini malah menyisakan, belasan pusaka yang dikisahkan berasal dari Kerajaan Majapahit.
Masjid cagar budaya dengan kubah batu dengan delapan kayu penopang ini, sama dengan At-Taqwa, juga mempunyai sumur yang dipercaya bisa menambah semangat hidup. Karena menurut sejumlah ahli air dari sumur ini mengandung banyak mineral. "Memang dari segi arsitektur, hampir sama dengan masjid yang ada di Parang. Yang membedakan, masjid ini dibangun dengan tiga pintu dan dua tingkat pada atap. Mengenai kubah masjid, dibangun sama dengan Masjid At-Taqwa, yaitu dari batu," ujar salah satu anak turun Kyai Haji Abdul Rohman, H Gunawan Hanafi, 60.
Masjid ini juga tak dibangun dengan kayu jati, namun dibangun dan ditopang dengan Kayu Sono yang pengerjaannya belum menggunakan penghalus. Jadi, beberapa kayu masih terlihat kasar. Tetapi tidak mengurangi kesan kokoh dari masjid yang dibangun di atas tanah seluas 20 meter pesegi.
Sumber : http://arkeologi.web.id/
Salah satu masjid tersebut diberi nama At-Taqwa pada 1970-an. Masjid ini dipercaya memiliki nilai sejarah yang sangat tinggi. Masjid dengan kubah batu tersebut dibangun oleh salah seorang Punggawa Magetan, H Imam Nawawi. Hingga saat ini, masjid tersebut masih dipercayakan kepada salah satu menantunya, H Hamid, 65.
H Hamid mengisahkan, Masjid cagar budaya At-Taqwa berdiri sejak 1850 di Dusun Badegan, Desa Tegal Arum, Kecamatan Parang, Magetan ini dibangun dengan luas sekitar 8x20 meter. Masjid ini diangun dengan delapan kayu jati yang menopang berdirinya atap masjid. Empat berada di depan dan empat penyokong lagi di belakang. Desainnya mirip rumah adat jawa, Joglo.
"Sebelum dibangun oleh Badan Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Trowulan, Mojorkerto, dulu masjid ini berdinding gedhek atau anyaman bambu. Masjid ini juga dibangun dengan satu pintu, berbeda kebanyakan masjid kuno lainnya yang dibangun dengan tiga pintu," ujar H Hamid.
"Pada 1997 lalu, masih lengkap 30 kitab kuno tersebut. Karena dimakan usia, terkena hujan dan dimakan hewan rengat, sekarang tinggal 17 kitab kuno yang kondisinya sudah sangat memprihatinkan. Apalagi, kami tidak tahu cara merawat kitab-kitab tersebut," ujar  Hamid.
Lain di At-Taqwa lain pula di Masjid Wakaf Kyai Haji Abdul Rohman, yang terletak di Dusun Tegalrejo, Desa Semen, Kecamatan Nguntoronadi, Magetan. Di masjid dengan usia lebih tua sekitar 15 tahun atau dibangun sekitar tahun 1835, ini tak menyisakan satu pun kitab. Masjid ini malah menyisakan, belasan pusaka yang dikisahkan berasal dari Kerajaan Majapahit.
Masjid cagar budaya dengan kubah batu dengan delapan kayu penopang ini, sama dengan At-Taqwa, juga mempunyai sumur yang dipercaya bisa menambah semangat hidup. Karena menurut sejumlah ahli air dari sumur ini mengandung banyak mineral. "Memang dari segi arsitektur, hampir sama dengan masjid yang ada di Parang. Yang membedakan, masjid ini dibangun dengan tiga pintu dan dua tingkat pada atap. Mengenai kubah masjid, dibangun sama dengan Masjid At-Taqwa, yaitu dari batu," ujar salah satu anak turun Kyai Haji Abdul Rohman, H Gunawan Hanafi, 60.
Masjid ini juga tak dibangun dengan kayu jati, namun dibangun dan ditopang dengan Kayu Sono yang pengerjaannya belum menggunakan penghalus. Jadi, beberapa kayu masih terlihat kasar. Tetapi tidak mengurangi kesan kokoh dari masjid yang dibangun di atas tanah seluas 20 meter pesegi.
Sumber : http://arkeologi.web.id/
Tagedi Jembatan Jati Lihat Sapi Hanyut, 25 Orang Hilang
SEMEN .Dua korban yang sudah teridentifikasi ialah Basuki, 16, warga Desa Purworejo, Kecamatan Kebonsari, dan Alif, 16, warga Dusun Dodol, Desa Petungrejo, Kecamatan Nguntoronadi, Magetan. “Korban yang sudah pasti hilang terbawa arus baru dua. Tapi, menurut saksi mata, jumlahnya lebih dari 25 orang,” terang Kapolres Magetan AKBP Bambang Sunarwibowo saat dikonfirmasi melalui AKP Sunarta, Kapolsek Takeran, di lokasi kejadian.
Peristiwa maut tersebut terjadi sekitar pukul 15.00. Arus air Kali Madiun yang meluap membuat penduduk sekitar penasaran. Di jembatan Jati-Semen tersebut, warga berjajar menyaksikan luapan air sungai.
Di tempat tersebut, ada rumpun bambu yang nyangkut di pilar jembatan bagian tengah. Tiba-tiba sekelompok warga mengetahui ada sapi yang hanyut. Tak urung, penonton berduyun-duyun. Tanpa diduga, tiba-tiba jembatan bergerak, lalu ambrol dan putus setengah.
Akibatnya, warga yang berada di atas jembatan jatuh dan hanyut terbawa arus sungai. “Saya melihat dengan mata kepala sendiri. Saat itu banyak warga yang duduk di atas jembatan dan terjatuh. Kira-kira sekitar 25 orang, bahkan lebih,” terang Slamet, warga Desa Pojok yang saat itu berada di lokasi.
Diduga, putusnya jembatan yang terbuat dari besi itu disebabkan ambrolnya fondasi jembatan. Selain itu, juga disebabkan derasnya arus sungai serta hantaman pohon bambu yang menyangkut badan jembatan. “Di atas jembatan juga banyak sepeda motor. Jadi, ya ikut tenggelam,” ungkap Slamet.
Hal tersebut dibenarkan Atik Komariah, 20, warga Desa Pucang Anom, Kecamatan Kebonsari. Saat itu, Komariah berboncengan dengan Tika sedang melintasi jembatan. Tiba-tiba, dia merasakan getaran dari badan jembatan. Keduanya langsung turun dan lari menjauhi meski sepeda motornya tertinggal. “Alhamdulillah, saya selamat meski sepeda motor saya hanyut,” kata Atik.
Hingga petang kemarin, belum ada regu penyelamat yang turun tangan mencari korban. Selain jembatan Jati-Semen, satu jembatan utama yang menghubungkan Kebonsari dan Nguntoronadi kemarin juga ditutup. Pasalnya, poros jembatan itu terlihat patah. “Daripada nanti menimbulkan korban, lebih baik ditutup sementara dulu,” ujar Sofian, warga setempat.
Informasi lain menyebutkan, ada lima sepeda motor yang tenggelam. Selain itu, satu unit mobil Izusu Phanter juga hanyut.
Kapolres Madiun AKBP Andhi Hartoyo saat ditemui di lokasi kejadian mengatakan, pihaknya belum bisa memastikan jumlah korban yang hanyut akibat jembatan Jati (Madiun)-Semen (Magetan) terputus. “Melihat rekaman kamera video dari HP anak buah sesaat sebelum kejadian, bisa lebih dari dua puluh orang yang hanyut.” terang Andhi.
Kepala Desa Rejosari (Kebonsari-Madiun/desa terdekat dari lokasi jembatan putus) Zainal Arifin mengatakan, sebagian besar korban bukan warga sekitar. “Kalau tenggelamnya di sini (Jati), mungkin lokasi penemuannya bisa di Bojonegoro. Tapi, bisa juga di wilayah Madiun karena mayatnya nyangkut,” ungkapnya.
Sumber :http://www.jasaraharja.co.id/lihat-sapi-hanyut-25-orang-hilang,4400.html
Warga Simbatan Kuras Candi Dewi Sri untuk Tolak Balak
Simbatan - Ratusan warga Desa Simbatan Kecamatan Nguntoronadi, Magetan disibukkan melakukan ritual tolak balak bencana dengan membersihkan patung Candi Dewi Sri yang ada di desa setempat. Ritual membersihkan candi tersebut dengan menguras air di sekeliling candi yang dipenuhi air hingga menenggelamkan patung tersebut.
Bangunan Candi Dewi Sri memang menjorok ke dalam seperti dalam kubangan kolam yang dipenuhi air dan berlumpur. Sehingga warga membersihkan bangunan tersebut.
Sekretaris Desa Simbatan, Titik Agustin mengatakan ritual dilakukan rutin sejak nenek moyang zaman Kerajaan Majapahit. Ini dipercaya warga sebagai tolak balak datangya bencana.
"Kita rutin adakan ritual seperti ini setiap hari Jumat pahing di bulan syuro. Puncaknya nanti ada penarian ikan dengan lagu wajib kembang jeruk yang dinyanyikan oleh 2 sinden yag telah disiapkan," kata Titik kepada wartawan di lokasi.
Titik menambahkan sebelum acara tarian, terlebih dulu ada sesaji dengan memotong satu ekor kambing. Dengan menanam kepala kambing di sekitar lokasi candi beserta sesaji lain. Terdiri dari candu, minuman limun merah dan putih, bedak, sisir, minyak srimpi dan kaca yang dipercaya akan digunakan Dewi Sri untuk keperluannya.
Untuk kelengkapan sesaji tersebut, para warga yang menguras kolam Candi Dewi Sri disuguhkan nasi bungkus dengan lauk sayur terong serta kacang-kacangan yang konon sangat disukai Dewi Sri.
Dari pantauan detiksurabaya.com, warga yang datang mulai pagi hingga siang ini tampak memadati lokasi Candi Dewi Sri di Desa Simbatan Kecamatan Nguntoronadi, kurang lebih 25 Km arah timur dari pusat Kota Magetan.
Sementara Mardjono Kasubdin Kebudayaan Dinas Pendidikan Kabupaten Magetan menambahkan, Candi Dewi Sri akan direnovasi untuk dijadikan obyek wisata dan sudah masuk dalam situs sejarah peninggalan Kerajaan Majapahit sehingga setiap kegiatan apapun di candi tersebut harus izin dengan Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP 3) Trowulan, Mojokerto.
Sumber:http://news.detik.com/read/2009/01/09/145055/1065759/475/warga-magetan-kuras-candi-dewi-sri-untuk-tolak-balak
Bangunan Candi Dewi Sri memang menjorok ke dalam seperti dalam kubangan kolam yang dipenuhi air dan berlumpur. Sehingga warga membersihkan bangunan tersebut.
Sekretaris Desa Simbatan, Titik Agustin mengatakan ritual dilakukan rutin sejak nenek moyang zaman Kerajaan Majapahit. Ini dipercaya warga sebagai tolak balak datangya bencana.
"Kita rutin adakan ritual seperti ini setiap hari Jumat pahing di bulan syuro. Puncaknya nanti ada penarian ikan dengan lagu wajib kembang jeruk yang dinyanyikan oleh 2 sinden yag telah disiapkan," kata Titik kepada wartawan di lokasi.
Titik menambahkan sebelum acara tarian, terlebih dulu ada sesaji dengan memotong satu ekor kambing. Dengan menanam kepala kambing di sekitar lokasi candi beserta sesaji lain. Terdiri dari candu, minuman limun merah dan putih, bedak, sisir, minyak srimpi dan kaca yang dipercaya akan digunakan Dewi Sri untuk keperluannya.
Untuk kelengkapan sesaji tersebut, para warga yang menguras kolam Candi Dewi Sri disuguhkan nasi bungkus dengan lauk sayur terong serta kacang-kacangan yang konon sangat disukai Dewi Sri.
Dari pantauan detiksurabaya.com, warga yang datang mulai pagi hingga siang ini tampak memadati lokasi Candi Dewi Sri di Desa Simbatan Kecamatan Nguntoronadi, kurang lebih 25 Km arah timur dari pusat Kota Magetan.
Sementara Mardjono Kasubdin Kebudayaan Dinas Pendidikan Kabupaten Magetan menambahkan, Candi Dewi Sri akan direnovasi untuk dijadikan obyek wisata dan sudah masuk dalam situs sejarah peninggalan Kerajaan Majapahit sehingga setiap kegiatan apapun di candi tersebut harus izin dengan Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP 3) Trowulan, Mojokerto.
Sumber:http://news.detik.com/read/2009/01/09/145055/1065759/475/warga-magetan-kuras-candi-dewi-sri-untuk-tolak-balak
Langganan:
Postingan (Atom)