Penyebaran agama Islam di abad ke-19 tak bisa dilepaskan dengan
sejarah perjuangan bangsa Indonesia melawan penjajah Belanda di berbagai
daerah. Salah satunya adalah sejarah perjuangan Pangeran Diponegoro
beserta pengikutnya di tahun 1825-1830.
Setelah perjuangan Diponegoro berakhir, para pengikutnya melanjutkan
perjuangan sambil menyebarkan agama Islam ke masyarakat yang masih
kental dengan budaya dan agama Hindu Majapahit.
Para pengikut Diponegoro ini mendirikan masjid sebagai pusat
pendidikan sekaligus tempat strategis menyusun perjuangan gerilya.
Beberapa pengikut Diponegoro lari dan menetap di wilayah Jawa Timur yang
waktu itu berada di bawah teritorial Kraton Solo, Jawa Tengah. Salah
satu wilayah tersebut adalah yang kini bernama Kabupaten Magetan.
Di Magetan, terdapat masjid kuno peninggalan pengikut Diponegoro
yakni masjid KH Abdurrahman yang berada di Dusun Tegalrejo, Desa Semen,
Kecamatan Nguntoronadi.
Seperti namanya, masjid KH Abdurahman didirikan oleh KH Abdurrahman
pada tahun 1835 Masehi. “Waktu itu setelah kalah perang melawan penjajah
Belanda, para pengikut Pangeran Diponegoro ini menyebar dan mendirikan
masjid yang dijadikan sebagai tempat pendidikan dan perjuangan termasuk
di masjid ini,” jelas keturunan kelima KH Abdurrahman, KH Gunawan
Hanafi, kepada
Tempo, Kamis (26/8).
Gunawan menuturkan bahwa KH Abdurrahman merupakan keturunan keluarga
Kraton Padjajaran, Jawa Barat, dan hijrah ke Pacitan, Jawa Timur, yang
waktu itu berada di bawah kekuasaan Kraton Solo. “Beliau itu memang
berganti-ganti nama sebagai strategi perjuangan agar sulit dicari
penjajah,” kata ketua ta’mir masjid setempat ini.
Sewaktu kecil hingga dewasa, KH Abdurrahman bernama Bagoes
Bantjalana. Bantjalana merupakan salah satu putera dari Kyai Achmadija.
Achmadija adalah saudara dari Raden Djajanoedin yang pernah menjadi
Bupati Pacitan dan mendapat julukan Tumenggung Djimat.
Sewaktu muda, Bantjalana pernah berguru ke Sunan Ampel di Surabaya.
Setelah mondok, dia pulang ke Pacitan dan sempat mengabdi ke Kraton Solo
dan akan diberi pangkat sebagai bupati namun ditolak. Dia lebih memilih
syiar agama Islam. Lalu dia menyebarluaskan agama Islam ke beberapa
daerah di Madiun hingga Magetan.
Dia sempat mendirikan pesantren di Dusun Banjarsari, Kecamatan
Dagangan, Kabupaten Madiun dan mendapat julukan Kyai Noer Basori.
Setelah itu, ia hijrah ke gunung Lawu hingga ke Kabupaten Magetan dan
menetap di sebuah dusun yang akhirnya dinamakan Tegalrejo.
Wilayah ini dikenal angker karena sebelumnya hutan yang sudah dua
kali dibabat oleh warga setempat namun malah terjadi bencana. Banyak
warga yang meninggal bahkan hilang. Setelah itu, Bantjalana yang waktu
itu bernama Kyai Noer Basori ikut membabat hutan selama tahun 1833
hingga 1836 dan mendirikan sebuah masjid dan menetap disitu serta
memiliki beberapa isteri dan anak. Waktu itu, Bupati Magetan dijabat
Tumenggung Sosrodipuro.
Setelah dibabat beliau, wilayah setempat makmur dan “bersemi”
kembali. Dari kata “semi” inilah akhirnya desa setempat dinamakan Desa
Semen hingga sekarang.
Kyai Noer sempat berguru ke Mekah dan Madinah selama empat tahun dan
mendapat ajaran Satariyah dari para sayyid di sana. Hingga kini aliran
Satariyah ini dikembangkan di Tegalrejo.
“Semasa menimba ilmu di Arab, beliau pernah mengarang kitab tauhid
yang diberi nama Bayanulloh (keterangan tentang Alloh) yang mengajarkan
tentang ketuhanan,” jelas pria yang berusia 62 tahun ini. Kitab yang
terbuat dari kulit hewan ini sampai sekarang masih utuh dan dirawat
keturunannya.
Perjalanan hidup Bantjalana, Kyai Noer Basori, atau KH Abdurrahman
ini tergambarkan dalam riwayat pendirian masjid dan pesantren Tegalrejo
yang pernah dibukukan KH Bakin, keturunan keempat dari KH Abdurrahman,
yang kemudian disusun ulang oleh Profesor M. Slamet dalam buku berbahasa
Jawa.
Slamet adalah bekas santri setempat yang jadi anak angkat Kyai Iman
Besari, keturunan ketiga KH Abdurrahman. Selain mengacu cerita keturunan
setempat, Slamet juga mendasarkan dokumen sejarah tulisan peneliti
barat dan Indonesia serta riwayat kerajaan yang waktu itu masih
berbahasa Belanda, Jawa, dan Sunda kuno.
Dalam buku tersebut disebutkan, KH Abdurrahman wafat pada tanggal 6
April 1875 Masehi atau 29 Safar 1292 Hijriyah. Tidak disebutkan kapan
beliau lahir dan bagaimana perjuangannya mengikuti Diponegoro.
Ada beberapa keunikan dibalik pembangunan masjid KH Abdurrahman ini.
Salah satunya adalah sumur tua yang dibangun di sekitar halaman masjid.
“Menurut cerita orang tua saya, dulu ketika beliau (KH Abdurrahman)
berguru ke Mekah, beliau membuat raja (tulisan berkhasiat) dan
diceburkan ke sumur zam-zam. Setelah pulang ke Tegalrejo, beliau membuat
sumber air yang didalamnya muncul raja yang pernah beliau ceburkan ke
sumur zam-zam sewaktu di Mekah,” tuturnya.
Hingga kini, sumber air yang memancar di sumur tersebut dipercaya
seperti air zam-zam. Air sumur tersebut sampai sekarang dimanfaatkan
orang banyak dan dipercaya bertuah. “Selain untuk kebutuhan sehari-hari,
air dari sumur ini juga dipercaya bisa menyembuhkan berbagai macam
penyakit atau gangguan jiwa yang dialami seseorang,” ucapnya.
Menurutnya, kandungan air ini pernah diteliti dokter puskesmas
setempat dan terbukti memiliki kandungan mineral yang tinggi dibanding
sumber air lain di wilayah sekitar. “Tanpa dimasak pun air ini sehat,”
tandasnya.
Setiap hari tampak warga bergantian mengambil air dari sumur. “Saya
sudah biasa menggunakannya untuk air minum atau untuk memasak,” kata
Ima, gadis 15 tahun yang biasa mengambil air sumur dengan jirigen
seberat lima liter ini.
Selain khasiat air, benda peninggalan yang dikagumi adalah kentongan
penanda waktu salat lima waktu. Kentongan yang dinamakan “Kentongan
Geger” itu sudah berusia ratusan tahun dan terbuat dari kayu nangka.
“Dulu suaranya sampai terdengar hingga puluhan kilometer karena waktu
itu masih sepi. Kalau sekarang sudah ramai dan tidak sampai terdengar
sejauh dulu,” ucap Ismail, salah satu keturunan KH Abdurrahman yang
biasa menjadi muadzin di masjid setempat. Hingga kini, tanda kentongan
tersebut jadi patokan masjid dan musala sekitar dalam menandai waktu
salat lima waktu.
Arsitektur masjid ini merupakan gabungan arsitektur Jawa dan Islam,
sama dengan masjid lainnya semasa itu. Bangunannya berbentuk rumah joglo
yang atapnya berbentuk prisma segi empat yang biasa disebut meru. Di
bagian puncak meru terdapat tonggak yang terbuat dari batu yang diukir
sedemikian rupa.
“Menurut cerita, kayu untuk membangun masjid ini diambil dari hutan
Kedungpanji, Magetan, dengan bantuan jin dan batu yang ada di atas meru
diambil dari Sarangan, Magetan,” ungkapnya.
Bangunan dalam masjid terdiri dari ruang dalam yang jadi ruang inti
untuk salat dan serambi yang biasa digunakan untuk tempat mengajar atau
mengaji. Di ruang dalam masjid terdapat empat tiang kayu sono keling
yang masih berdiri kokoh dan di bagian depan terdapat ruang imam salat
serta mimbar yang digunakan untuk ceramah atau khutbah. Di serambi
masjid juga terdapat peninggalan bedug dan kentongan yang hingga kini
masih difungsikan.
Sedangkan di barat masjid terdapat komplek pemakaman almarhum KH
Abdurrahman beserta keturunannya. Setiap hari terutama malam, banyak
peziarah dari dalam kota maupun luar kota yang berziarah. “Kalau
berziarah untuk kebaikan kami mempersilakan tapi kalau untuk kepentingan
yang tidak baik atau syirik, akan kami usir,” imbuh Gunawan.
Peradaban Islam yang digagas KH Abdurrahman membuat wilayah dan
masyarakat sekitar sejahtera dan makmur. “Sehingga kami sebagai
keturunan beliau menyebut wilayah sini dengan Bumi Maslahat atau Bumi
Kebaikan atau Bumi Kemakmuran,” ujarnya.
Seperti tradisi sebelumnya, selama bulan Ramadan, masjid keramat ini
juga dipakai untuk salat tarawih dan tadarus Al Quran. Masjid ini sudah
pernah direnovasi beberapa kali dan terakhir tahun 2003 dengan swadaya
masyarakat. Masjid ini berdiri diatas tanah yang kini dijadikan tanah
ulayat.
Di luar Ramadan, kegiatan di masjid ini juga terdapat pendidikan
diniyah bagi anak-anak setiap Senin dan Kamis. Ta’mir masjid juga
mengadakan pengajian rutin setahun sekali setiap Jum’at terakhir (Jum’at
pungkasan) dalam bulan Sya’ban dan mengadakan salat tolak bala yang
dilakukan setiap Rabu pungkasan bulan Safar dalam tahun Hijriyah.